Segerombolan
Burung Cangak
Sosok Sultan Hadlirin memang tak asing lagi
bagi masyarakat Jepara. Sultan Hadlirin bukanlah asli rakyat Jepara melainkan asli rakyat Aceh. Sebelum menjadi
sultan beliau bernama Raden Toyib yaitu putra dari raja yang berkuasa di Aceh
yaitu Syech Mukhayyat Syah dan mempunyai kakak yang bernama Raden Takyim.
Setelah ayahnya sudah lanjut usia, ayahnya bermaksud ingin mengangkat Raden
Toyib sebagai seorang sultan, karena kecakapan dan ketekunannya dalam
mempelajari ilmu-ilmu pemerintahan. Berbeda dengan kakaknya yang hanya suka
berfoya-foya.
Setelah Raden Toyib mengetahui konflik yang
terajadi mengenai pengangkatannya sebagai sultan Raden Toyib merelakan tahtanya
kepada kakaknya, karena beliau tidak mementingkan jabatan untuk menjadi seorang
sultan. Kemudian beliau pergi mengembara untuk menyebarkan agama islam dengan
cara menyamar memakai pakaian yang sangat sederhana. Konon beliau terdampar di
Tiongkok, kemudian setelah kurang lebih 5 tahun berjalan akhirnya beliau
terdampar di Bandar Jepara.
Beberapa lama tinggal di Jepara tiba-tiba
beliau ingin mengabdikan dirinya ke kerajaan Kalinyamat yang berkuasa di Jepara
saat itu. Awalnya Raden Toyib tidak mau menceritakan siapa dirinya yang
sebenarnya kepada prajurit keraton yang pada akhirnya beliau di masukkan
penjara. Akan tetapi tidak tau mengapa beliau menceritakan asal usulnya kepada
kanjeng ratu. Hati kanjeng ratu berdebar-debar dan ingat ramalan ayahnya
tentang jodohnya yang bukan berasal dari kalangan masyarakat pribumi Jawa
melainkan dari negeri seberang. Hingga akhirnya Ratu Kalinyamat meminta Raden Toyib untuk menikahinya.

Setelah menikah Ratu Kalinyamat menyerahkan
tahtanya kepada Raden Toyib. Kurang lebih pada tahun 1536 Raden Toyib
dinobatkan dan diberi gelar Sultan Hadlirin sekaligus menjadi adipati Jepara.
Setelah bertahun-tahun pernikahan antara Sultan Hadlirin dengan Ratu Kalinyamat
belum juga dianugrahi seorang anak. Hingga akhirnya Sultan Hadlirin dan Ratu
Kalinyamat mengangkat seorang putri dari Sultan Hasanuddin dari Banten yang bernama
Dewi Wuryan Retnowati, namun sangat disayangkan putri angkatnya meninggal
sebelum usia baligh.
Hati kanjeng Ratu selalu gelisah karena
sepeninggalan putri angkatnya kanjeng ratu belum juga diberi keturunan. Kanjeng
ratu berusaha keras mencari solusi agar bisa memiliki penerus tahtanya
mengingat kekuasaannya yang sudah sangat luas. Pada akhirnya kanjeng ratu
memperbolehkan sultan untuk menikah lagi yaitu dengan putri Sunan Kudus yang
bernama Raden Ayu Pridobinabar. Setelah pernikahan sultan dengan putri Sunan
Kudus berjalan, di tengah perjalanan pernikahan mereka terdapat suatu konflik.
Ditemukan dua versi penuturan cerita mengenai kematian sultan yang berbeda.
Menurut versi pertama kematian Sultan Hadlirin
berhubungan dengan krisis perebutan tahta di Demak Bintoro. Ketika Demak
terjadi krisis hebat dalam perebutan tahta kerajaan, konon kekuasaan Sultan
semakin memuncak. setelah Raden Patah meninggal yang disusul dengan Pangeran
Sabrang Lor, Sultan Demak II, tahta kerjaan harusnya berpindah tangan ke
adiknya yang paling tua yaitu Pangeran Sedan Lepen. Namun ia juga meninggal
karena di bunuh oleh Sunan Prawoto yang telah mengincar tahta kerajaan Demak.
Karena pembunuhan tersebut tahta kerajaan
jatuh ke tangan Pangeran Trenggana ayah Sunan Prawoto. Setelah Pangeran
Trenggana meninggal, keinginan Sunan Prawoto ingin menjadi pewaris tahta
kerajaan Demak. Hal tersebut membuat Arya Penangsang menjadi geram karena pembunuh
ayahnya telah menjadi Sultan Demak. Bahkan ia juga menuntut haknya sebagai
pewaris kesultanan Demak yang sah. Akhirnya Arya Penangsang menyuruh abdinya
yang bernama Rangkut untuk membunuh Sunan Prawoto. Setelah berhasil terbunuh,
kekuasaan dan kekayaan jatuh ke tangan Sultan Hadlirin yang sekaligus mendapat
hak menjadi pengampu Arya Pengiri, putra mahkota Kerajaan Demak hingga dewasa.
Hal itu terjadi karena istri Sultan Hadlirin adalah kakaknya Sunan Prawoto.
Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat meminta keadilan atas perbuatan muridnya
kepada Sunan Demak, Arya Penangsang.
Namun Sunan Kudus membenarkan Arya Penangsang
dengan berkata “kakakmu telah hutang pati kepada Arya Penangsang oleh karenanya
kakakmu bagaikan membayar hutang saja”. Karena kecewa mendengarnya, Kanjeng
Ratu segera pulang dengan suaminya. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh
utusan Arya Penangsang yang akhirnya Sultan Hadlirin berhasil terbunuh
kira-kira pada tahun 1471 tahun Jawa atau 1546 M.
Menurut versi kedua penuturan hikayat menyatakan
bahwa Sultan Hadlirin ikut dalam pembangunan masjid menara Kudus. Sebelum
pembangunan masjid Sunan Kudus mengumpulkan keluarganya guna membagikan tugas
dalam pembangunan masjid, ternyata Sultan Hadlirin mendapatkan tugas untuk
membuat mihrab masjid dan masjid harus jadi pada jumat wage. Di saat bahan-bahan
harus terkumpul sultan tidak hadir di lokasi, Sunan Kudus masih bersabar dan
khusnudzon kepada Sultan Hadlirin.
Setelah lama menunggu akhirnya sultan datang
akan tetapi beliau langsung ke belakang masjid dan mengambil daun pisang
kering, sunan terus mengamati sultan. Daun pisang yang kering kemudian di ikat
dengan talu pada tiang-tiang yang dipancangkan pada tempat mihrab. Dengan
cambukan 3 kali mendadak kumpulan daun pisang kering berubah menjadi tembok
yang kuat. Tanpa berpamitan sultan langsung pulang ke Jepara dan tidak lama
kemudian tembok berubah menjadi mihrab yang megah. Kejadian tersebut mebuat
Sunan Kudus menjadi marah dan geram.
Karena merasa diremehkan oleh Sultan Hadlirin,
Sunan Kudus langsung memanggil Arya Penangsang dan menyuruhnya untuk membunuh
Sultan Hadlirin. Padahal Arya Penangsang sendiri sebenarnya takut menghadapi Sultan Hadlirin, lalu Arya Penangsang menyuruh abdinya untuk mengejar sultan.
Setelah abdinya menghadap pada sultan badannya langsung gemeteran, Sultan
terkejut dan bertanya apa yang sebenarnya mereka inginkan. Karena takut lalu abdinya
berterus terang.
Sultan tak sedikitpun marah, seakan-akan
beliau mengetahui bahwa ajalanya telah tiba. Beliau menyuruh abdi dari Arya
Penangsang tersebut untuk membunuhnya, akhirnya sultan meninggal dunia.
selanjutnya jenazah Sultan Hadlirin di bawa ke Jepara dengan cara dipikul oleh
pengikitnya. Pembawaan jenazah Sultan Hadlirin ke Jepara menjadi sejarah
tersendiri bagi wilayah-wilayah yang di lewati yang kemudian menjadi nama-nama
desa. Ada desa Purwogondo, Krasak, Lebuawu dan termasuk juga desa Pecangaan
Kulon.
Konon menurut cerita rakyat setempat nama desa
Pecangaan Kulon diambil dari ketika sampainya jenazah Sultan Hadlirin di daerah
Pecangaan para pengikut melihat banyak sekali burung cangak yaitu sejenis
burung bangau yang hinggap di atas pohon yang kemudian tempat tersebut
dinamakan Pecangaan. Sedangkan kata kulon di ambil dari letak pohon yang
dihinggapi oleh burung-burung cangak
yang berada di sebelah barat, muncullah nama desa Pecangaan Kulon.